The Zen Diary : Makanan yang Menunya Ditentukan Oleh Alam

Film The Zen Diary

Gara-gara nonton film The Zen Diary, MinMot jadi penasaran sama tahu wijen yang dibuat oleh tokoh utamanya. Kan selama ini yang biasa MinMot makan tuh, tahu berbahan dasar kacang kedelai. Nah, lho, auto kepo nggak tuh?

Sebuah film yang mengangkat tentang menu-menu makanan ala kuil zen. Kuil yang banyak tersebar di wilayah Kyoto, Jepang. Salah satu aliran buddhisme yang menitikberatkan segala sesuatunya pada kedamaian dalam menemukan keterangan dan kesempurnaan dalam menjalani kehidupan.

Kalau nggak menonton The Zen Diary, kemudian mencari tahu tentang kuil zen di Kyoto, mungkin MinMot akan mengira kalau film Jepang yang menjadi salah satu film dari daftar film di Japanese Film Festival Online 2024 ini hanya sekadar pamer cara membuat menu makanan sederhana yang kesemuanya berbahan tanaman di sekitar tempat tinggal dari sang tokoh utama.

Profil Film The Zen Diary

Judul : The Zen Diary

Tahun Rilis : 2022

Sutradara : Yuji Nakae

Penulis Naskah : Tsutomu Minakami, Yuji Nakae

Pemain :

  • Kenji Sawada sebagai Tsutomu
  • Takako Matsu sebagai Machiko

Durasi : 111 menit

Rate Usia : 13+

So, Gengs … yuk siap-siap Ambil Remot. Turn in on and enjoy! Kita kulik, apa sih yang bikin film Jepang dokumenter satu ini tuh jadi menarik.

Sinopsis Film The Zen Dairy

Kisah akan dibuka dengan perjalanan dari mobil yang dikendarai oleh Machiko menuju rumah dari salah seorang penulis yang ia urusi bernama, Tsutomu. Seorang penulis berusia sekitar 60 tahunan yang memilih tinggal seorang diri pada rumah lapang miliknya di kawasan pedesaan.

Latar waktu masih berada di bulan Februari. Salju tebal menggunung di sisi-sisi jalan. Warna putihnya menggoda mata, mengajak melamun seolah kamu dibawa duduk dalam mobil, tepat di samping Machiko yang tengah melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang.

Selanjutnya, penonton akan diajak beralih pada kehidupan menyendiri ala Tsutomu-san di dalam rumahnya yang tenang. Pada pagi hari, sebelum kembali menuntaskan pekerjaannya selaku seorang penulis, ia keluar rumah untuk mencari bahan makanan.

Melangkah di antara tumpukan saju tebal di pekarangan rumahnya, ia menuju ke sudut untuk mendapati semacam kentang. Tak butuh waktu lama, ia sudah kembali berdiri pada area wastafel dapurnya nan sederhana.

Penonton macam MinMot lekas tergoda. Akan Tsutomu olah menjadi menu apa si kentang itu ya?

Tanah hitam yang membungkus seluruh badan kentang, tersapu oleh aliran air dari keran. Rasanya, memandanginya saja sudah memicu sensasi ‘berada di rumah Kakek lalu dihadiahi masakan sederhana nan lezat’.

Tsutomu mengolah semuanya hanya dengan merebusnya saja. Tak nampak ada bumbu lainnya yang ia berikan pada masakan tadi. Hingga kemudian Machiko tiba, memanggil-manggil sang pemilik rumah.

makan ala kuil zen di The Zen Diary
Machiko makan siang bersama Tsutomu-san

Bak anak yang datang ke rumah tua milik ayahnya, Machiko disambut dengan aroma khas rebusan kentang. Tsutomu pun bertingkah layaknya ayah pada sang anak, mengajaknya lekas menghangatkan badan sebelum datang terburu dengan membawakannya menu makan siang.

Duduk di samping perapian khas Jepang yang biasa dimanfaatkan sebagai tempat untuk menjerang air, Machiko melahap segala rupa yang Tsutomu berikan. Bahkan piring berisi makanan yang ingin Tsutomu kudap, disodorkan pada Machiko. Perempuan muda itu pun jelas kelihatan senang. Lahap pula makannya.

Segalanya ditutup dengan ocha yang Tsutomu-san racikkan. Minuman teh hijau tersebut jelas kelihatan hangat dengan asap tipis yang mengebul ketika baru dituang pada cawan kayu sebelum diaduk cepat oleh Tsutomu.

Tujuan Machiko bertandang bukanlah urusan ‘perbaikan gizi’ macam anak-anak yang lama tinggal jauh dari orangtuanya di perantauan. Tentu saja, Machiko pun bukanlah anak dari Tsutomu, melainkan rekan kerja.

Oleh karena itu, kehadiran Machiko di rumah Tsutomu menandakan bahwa ada draft naskah yang harus ditagih langsung pada Tsutomu Minakami. Walau sudah berusaha mengelak dan mengulur waktu, tembakan Machiko tetap saja kena sasaran. Tsutomu memang harus mnyetor, paling nggak, ya sebuah judul tulisan.

Kemudian, terinsprasi dari kesehariannya. Termasuk mendapati kalau makanan ala kuil zen nan sederhana itu memiliki keunikan, maka judul yang Tsutomu berikan pada Machiko adalah The Zen Diary. Sebuah pembuka yang kemudian membawa kisah dalam film bertema makanan ini bergulir.

Siapa Itu Tsutomu Minakami?

Selayaknya film drama dokumenter, tokoh utama yang sosoknya diperankan oleh Kenji Sawada ini benar-benar ada. Ia adalah seorang penulis, atau biasa dikenal juga sebagai esais asal Jepang. Lahir pada bulan Maret tahun 1919. Kemudian wafat di awal tenangnya bulan September pada 2004.

sosok penulis Jepang, Tsutomu Minakami
Tsutomu Minakami

Bukan hanya sebagai esais, Tsutomu Minakami juga merupakan seorang penulis biografi dan novelis. Karyanya yang berjudul Gan no Tera atau The Temple of the Wild Geese, membawanya meraih penghargaan Naoki Prize di tahun 1961, tahun yang sama saat buku biografi tersebt dirilis.

Tsutomu Minakami jelas sekali mengambil latar belakang aliran zen dalam kebanyakan karyanya. Hal ini nampaknya bersisian dengan perjalanan hidupnya semasa kecil.

Tsutomu Minakami berasal dari keluarga yang sangat sederhana, bila tak ingin disebut sebagai miskin. Ayahnya adalah seorang tukang kayu. Wajar bila lewat The Zen Dairy, tokoh Tsutomu ini juga berteman akrab dengan seorang tukang kayu pula.

Masa sulitnya semasa anak-anak, membawanya menjadi seorang pelajar muda di suatu kuil zen di Kyoto. Semenjak berusia 9 tahun, ia menjalani sulitnya kehidupan di dalam kuil zen. Beruntung, ia menemukan guru yang tepat dan begitu menyayanginya.

Semasa di kuil inilah, Tsutomu kecil mempelajari ilmu meramu makanan. ia diajari mulai dari mencari bahan makanannya di alam sekitaran kuil — kawasan pegunungan khas Kyoto — kemudian mengolahnya dengan teliti. Dari sanalah, inspirasi Tsutomu yang telah memasuki usia lansia, ingin menulis mengenai menu makanan ala kuil zen.

MinMot sendiri paling terkesan pada scene yang menampilkan Tsutomu mencuci Bayam. Selayaknya kebiasaan di rumah MinMot, Bayam itu yang dkonsumsi hanya daun dan batang bagian atasnya saja. Nah, kalau di film bertema makanan ala kuil zen ini, bagian akar Bayam malah dinobatkan sebagai bagian yang paling istimewa dan nggak baik dibuang. Cukup dibersihkan dengan teliti di bawah aliran air saja.

Beberapa scene lainnya pun menghadirkan kesannya masing-masing. Bahkan kata-kata Tsutomu yang paling pamungkan buat MinMot adalah nasihat untuk nggak membuang-buang makanan. Mubadzir.

Sayangnya di masa remajanya, Tsutomu memiliki keluar dari lingkungan kuil zen. Ia pun melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang universitas di Ritsumeikan University yang memang juga berlokasi di Kyoto pada 1937. Sayang, beliau sulit menyesuaikan ritme kerja dan kuliahnya sehingga terpaksa menyudahi masa belajarnya.

Selepas Perang Dunia II, sembari mengambil banyak pekerjaan alias bekerja serabutan, Tsutomu Minakami belajar menulis dari seorang penulis senior Jepang, Koji Uno. Dari sanalah, karir beliau sebagai seorang penulis pun dimulai.

Kuil Zen Tersebar Di Kyoto

Benarlah bila sebuah film bisa memancing ketertarikan lebih lanjut dari tema yang diangkatnya. The Zen Diary mengajak MinMot untuk mencari tahu lebih jauh tentang kuil zen.

Kuil-kuil zen buddhisme ini rupanya tersebar di sekujur Kyoto. Beberapa di antara menjadi incaran wisatawan yang ingin mencicipi rasanya menenangkan diri di tengah sejuk dan heningnya kuil. Senbon Shakado tercatat sebagai kuil beraliran zen tertua di Kyoto. Tempat yang disebut-sebut mampu mencegah berbagai penyakit dan mengalirkan kebahagiaan. Dibangun pada abad ke-13.

kuil zen Senbon Shakada di Kyoto

Kuil zen tertua ini paling mahsyur dengan perayaan Api Unggun Daikon. Sementara daikon sendiri bermakna lobak jepang yang menu rebusannya biasa disantap pada perayaan tahun baru. Jika kamu teliti sepanjang menyaksikan film The Zen Diary, akan ada scene yang menunjukkan Tsutomu memasak menu lobak ini hingga tersaji di atas piring makan beliau.

Masih ada kuil-kuil zen lainnya yang bisa dikunjungi di Kyoto. Kebanyakan, akan memberikan kesan sejuk nan tenang. Wajar bila rasa yang sama pun dialirkan dalam film Jepang tentang sosok Tsutomu Minakami ini.

The Zen Diary Bukan Hanya Bahas Makanan Saja

Ada kisah lain yang hadir, seiring sejalan dengan bagaimana Tsutomu-san menghadirkan berbagai rupa menu makanan ala kuil zen pada penonton. Setiap bulan berganti, menu yang tersaji akan berbeda lagi.

Nggak ada menu yang sama. Bila diibaratkan dengan tingkah anak-anak jaman sekarang (ih, padahal kan MinMot juga sama ish ish) tiada tuh ceritanya lagi BM a.k.a banyak mau. Horang semua menu yang disantap mengikuti apa yang sedang alam berikan.

Bahkan MinMot dibuat terpana mendapati potongan cerita para penghuni kuil zen yang berburu rebung. Itu lho, anakan dari pohon bambu.

Kalau biasanya, rebung MinMot dapati di dalam Lumpia, eh di The Zen Diary tuh malah dimakan begitu saja. Mana mukanya Machiko saat menyantap rebung buatan Tsutomu kelihatan menikmati banget pula.

Pas sekali The Zen Diary ini jadi referensi untuk kamu yang ingin belajar soal menu ala vegetarian juga. Namun, kalau kamu seorang muslim, jangan harap kalau menunya 100% halal. Ofkorrs, karena ditambah dengan sake, kan jadinya mengandung campuran alkohol walau hanya setetes — pun dianggap akan menguap saat dimasak — tapi tetap saja.

Well, The Zen Diary ini film yang istimewa sih. Bukan cuma menambah pengetahuan, memanjakan pandangan mata, melegakan hati, termasuk membuka wawasan. Kamu sudah nonton film ini di Japanese Film Festival Online 2024 juga? Mumpung masih bisa diakses cuma-cuma.

Artikel yang Direkomendasikan

29 Komentar

  1. sepertinya menarik juga nih filmnya untuk ditonton ada banyak pesan yang bisa dipetik dari filmnya apalagi soal perkulineran ini.

  2. Bakalan seru nih nonton The Zen Diary. Jadi penasaran sama makanan sederhana kuil Zen. Jadi membayangkan tinggal di desa, tinggal ke depan rumah buat metik sayuran buat masak sehari-hari.

  3. Menarik bgt filmnya ini. Saya suka alur yang agak lambat dan terasa secara emosional. Berkesan dan ringan. Apalagi yang mengangkat kuliner begini dengan latar tradisional.

  4. Latar filmnya tenang banget ya kak. Kuil zen ini karena menganut budhisme berarti makanannya vegetarian ya kak.
    Cara masaknya juga masih sederhana ya kak.

  5. Pengen banget ke jepang. Kayanya enak itu masakannya. Tapi apalah hanya melihatnya saja, heheh

  6. Baca ulasan ini, jadi tertarik mau lihat filmnya. Bisa belajar budaya Jepang khususnya yg terkait dengan kuil Zen

  7. Masih bisa gak ya nonton JFF? Tertarik banget deh nonton film ini. Karena biasanya Jepang tuh bagus kalau bikin film tentang makanan.

    1. Sayang banget, JFF Online sudah berakhir di awal bulan Juli lalu. Semoga bisa ikutan nonton di JFF Online 2025 ya.

  8. Wah keren banget yah jadi bener-bener terinspirasi hidup minimalis ala ala ngeramban ini wkwkk. Apalagi sekarang makin banyak yang buang2 makanan dan jadi mubadzir, gaya hidup junk food juga udah bikin ngga sehat. Enak kali ya tinggal di sekitar kuil yang tenang dan sejuk.

  9. Jadi tertarik untuk nonton juga deh. Berhubung lagi sering bikin meal plan buat di rumah (supaya anak sekolah bekelnya aman), jadi pengen liat macem2 menu makanan. Apalagi ini ngajarin untuk gak mubadzir, suka bingung soalnya gimana memaksimalkan suatu bahan makanan.

    Masuk list tontonan selanjutnya deh ini. TFS yaa

  10. Pengalaman di Taiwan panen rebung merebusnya lalu dimakan begitu saja terbawa ketika saya pulang kampung.
    Bedanya, rebung di luar negeri manis… Di kampung saya, Meksi bambu Betung yg terkenal enak, tetap saja tidak semanis rebung di luar negeri… Di kita rebung kudu dibumbui dulu
    Di tempat saya kerja dulu, rebus dan cocok sambal atau mayonaise udah enak banget

  11. Kubayangkan, jenis makanannya organik semua dan sehat semua. Klo umbi-umbian fan biji2an tentu ada gurih2nya walaupun cuma direbus, tapi untuk sayuran … o, kutakbisa

  12. The Zen Diary tampaknya menawarkan perspektif yang dalam mengenai hubungan antara spiritualitas, alam, dan kesederhanaan dalam kehidupan modern. menarik

  13. Film dokumenter yang seruuuuu! Entah karena tentang seorang penulis, entah tentang memasak dari alamnya. Yang muslim tinggal menyesuaikan aja sih. Apalagi muslim Indonesia yang punya banyak rempah-rempah untuk bumbu.

  14. Benar-benar dari alam ya. Cuman makan rebusan aja udah enak banget tanpa bumbu-bumbu. Keren banget sih mereka. Pengen juga dong nonton filmnya

  15. Film-film Jepang yang menampilkan kebudayaan selalu menarik perhatian. Apalagi hal yang terlihat sederhana seperti menu makanan ala kuil Zen yang diolah dari tanaman di sekitar tempat tinggal tokoh dalam film The Zen Diary ini. Semacam makan menu berbahan organik, yang lebih sehat dan terjaga kandungan nutrisinya daripada bahan yang didapatkan di pasaran. Apalagi ada filosofi dari seni memasaknya..
    Wah, bisa ditonton dimana ya filmnya kalau festivalnya sudah ga bisa diakses lagi? Pengin nonton saya…

  16. Film The Zen Diary ini nakalan betah ditonton, soalnya sarat sejarah dan ada cerita makanan yang natural demi kesehatan. Kehidupan manusia yang berpadu dengam alam, termasuk makanan ala kuil.Temanya menarik dan mengusik sanubari untuk segera menyimaknya dengan baik.

  17. Wah, bisa nih untuk aku masukkan ke watch listku, karena aku juga suka nonton film mengenai kuliner begini. Menginspirasi sih pastinya

  18. Kalau diperhatikan lagi, rata-rata (tidak semua) film jepang mengambil tema-tema budaya zen. Aku ingat salah satu film judulnya The Departure, yang kurang lebih unsur zen-nya sekelas sama the zen diary ini. Bisa ini buat tontonan malam minggu nanti 😀

  19. Zen hadir hehehehehe.

    Wah ternyata film dokumenter ya. Asyik bisa ditonton di festival online. Aku tuh suka nonton film jepang karena ada ciri khas tersendiri dan selalu memperlihatkan filosofi mereka yg dalam banget.

  20. Konsep ‘The Zen Diary’ sungguh menarik! Bayangkan, setiap hari kita bisa menikmati hidangan yang segar dan penuh kejutan sesuai dengan apa yang alam tawarkan. Ini bukan hanya tentang makan, tapi juga menghargai siklus alam dan berterima kasih atas rezeki yang diberikan.

  21. Tema yang diangkat dalam The Zen Diary cukup menarik untuk disimak, jadinya tidak hanya punya unsur entertain saja tetapi juga sarat dengan pengetahuan untuk kita sebagai penontonnya

  22. Drama jepang memang relatif sedikit yaa yang hype di kita.. termasuk the zen diary ini..
    Tapi baca profiling penulisnya emang suhu banget kayanya..

  23. nikmatnya tinggal di kampung, hampir semua makanan dari alam, nanam sendiri atau minta tetangga, hidup makin sehat dan makin mampu untuk berpikir jernih

    1. Betul. Kalau di pedesaan tun supermarket langsung dari alam. Kalau di perkotaan kan supermarket ada di bangunan beton semua.

  24. Film dokumenter yg disajikan seperti ini, seru dan asik ya, konsep The Zen Diary semoga bisa menginspirasi yg lain membuat hal yg sama ya

  25. Menarik banget sebenernya konsep Zen ini. Bayangkan setiap hari kita menikmati makanan segar dan penuh kejutan karena semua sesuai apa yang alam tawarkan. Ini keren sihhh, jadi penasaran sama film nya

  26. Orang-orang Jepang tu keren sih, ada tuh di Youtube vlog dokumenter yang menginterview orang-orang tertua di Jepang, dan ada penelitiannya juga. Dan salah satunya ya karena dari nenek moyangnya sudah diajarkan untuk makan makanan yang tidak diolah. Makanya banyak yang sehat-sehat aja meskipun udah umur 80an. Bisa nih buat ditontong, makasih bang!

    1. Emang imbauan buat kurangi makan makanan ultra proses tuh ada benarnya juga, ya nggak sih? Biar umur panjang, biar sampai jomo masih bisa ngikutin berbagai perkembangan film. Ya mana tahu kan ya, Gengs.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *