Twenty Four Eyes Tentang Guru dan Murid-Muridnya

24 Eyes film Jepang 1954

Perang itu mengerikan. Mengubah setiap sendi kehidupan, bahkan mempengaruhi masa depan setiap orang. Dalam film Jepang Twenty Four Eyes, ada cinta seorang guru kepada 12 orang muridnya di sepanjang masa perang Jepang pada era Showa.

Film ini diangkat dari sebuah novel berjudul Twenty Four Eyes atau Niju-shi no Hitomi karya novelis Sakae Tsuboi. MinMot menemukan kalau novel ini juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Twenty Four Eyes (Dua Puluh Empat Pasang Mata) terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2021 lalu.

Durasinya cukup panjang. Dengan jalan cerita yang mendetail tapi sukses mengaduk perasaan. Membuat MinMot merasa terharu, termasuk menyadari betapa kehidupan masyarakat Jepang di masa lalu tuh sebegitunya.

Profil Film Jepang Twenty Four Eyes

Judul : Twenty Four Eyes / Nijushi no Hitomi

Tahun Rilis : 1954

Sutradara : Keisuke Kinoshita

Penulis Naskah : Keisuke Kinoshita

Pemain Utama :

  • Hideko Takamine sebagai Hisako Oishi (Oishi-sensei)

Durasi : 154 menit / 2 jam 34 menit

Rate Usia : semua umur

Film Jepang ini memang berpusat pada kehidupan seorang guru muda bernama Hisako Oishi yang menjadi pengajar di suatu sekolah dasar melalui rekomendasi dari teman ayahnya, demi menggantikan seorang guru perempuan lainnya. Perjalanan merebut hati 12 orang muridnya hingga masa perang merenggut banyak hal dari kehidupan mereka semua.

Berlatar Tempat di Pulau Shodo, Kagawa, Jepang

Film yang masuk dalam daftar putar Japanese Film Festival Online 2024 ini menghadirkan latar sebuah pulau di Jepang sana yang masuk ke dalam Prefektur Kagawa. Sebuah pulau di kawasan laut pedalaman Seto, Jepang.

Pulau Shodo hanya memiliki dua kota saja, Shodoshima dan Tonosho. Pulau ini, karena luasnya yang cukup kecil, dikenal juga sebagai pulau zaitun. Disebut demikian, sebab di pulau inilah pertama kalinya tanaman zaitun berhasil ditanam di wilayah Jepang.

latar tempat film twenty four eyes
Pulau Shodo, Kagawa, Jepang

Walaupun dianggap sebagai pulau kecil, sebenarnya Pulau Shodo yang hadir baik dalam novel maupun film Twenty Four Eyes ini punya garis pantai sejauh 126 km. Masuk ke dalam kategori pulau terbesar kedua di Laut Pedalaman Seto, dan urutan ke-19 untuk pulau terbesar di Jepang.

Di Pulau Shodo ini, terdapat selat yang masuk dalam kategori selat tersempit di dunia. Hanya seluas 9,93 m saja. Selat Dobuchi, namanya.

MinMot jadi teringat sebuat scene ketika Oishi-sensei yang sudah lama nggak mengajar akibat sakit, harus naik sampan menyeberangi selat dengan perahu dayung (ditemani seorang pendayung tentu saja) hanya untuk menemui 12 orang muridnya karena rindu.

Ada pula penampakan menara suar yang jadi patokan tempat Oishi-sensei tinggal. MinMot jadi terbayang, andaikan di masa film ini dibuat, kamera sudah bisa menangkap warna seperti sekarang, pastilah cantik banget pemandangannya.

Pulau Shodo juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata domestik. Selain terkenal sebagai latar lokasi dari novel Twenty Four Eyes yang sudah dua kali diangkat ke layar lebar, yaitu pada tahun 1954 dan 1987, juga jadi lokasi dari serial televisi yang sama.

Gengs, kamu pernah kepikiran nggak sih untuk mengunjungi lokasi dari latar suatu film? Misalnya, ya Pulau Shodo ini. Kalau MinMot sih, mau banget. Nggak nolak lho, selama ada dana dan kesempatannya.

Sinopsis Film Twenty Four Eyes 1954

Kisah ini bermula dari sosok Hisako Oishi, si perempuan modern pada jamannya yang menggantikan seorang guru perempuan di suatu sekolah setingkat sekolah dasar. Penampilannya yang berbeda, lekas menarik perhatian.

Bila guru perempuan sebelumnya terbiasa mengenakan kimono di keseharian, Oishi-sensei tampil dengan pakaian yang lebih modern. Bahkan ia memilih menggunakan outer berupa blazer dan kemeja, dipadu rok span. Alasannya tentu saja karena dari rumah ke sekolah, ia harus menempuh jarak jauh menggunakan sepedanya.

film jeang 24 eyes versi 1954

Bayangkan saja. Mana bisa disebut praktis kalau naik sepeda tapi pakai kimono yang terkesan anggun? Sementara jarak rumah tinggalnya yang jauh, butuh dilalui dengan mengebut.

Dari apa yang MinMot tangkap sepanjang menyaksikan film Twenty Four Eyes, MinMot menduga kalau Oishi-sensei ini tinggal di Tonosho, sementara sekolah tempatnya mengajar ada di Shodoshima.

Di siis lain, Oishi-sensei selain menghadapi sesi ghibah-ghibah seru dari para rekan sesama guru dan pengurus sekolah juga masyarakat sekitar yang menggunjingkan penampilannya, ia juga berjuang merebut perhatian para muridnya. Dan … bagian inilah yang paling nggak mudah.

Setelah sebelumnya diajar oleh guru yang lain, para murid perlu beradaptasi dengan kehadiran Oishi-sensei. Beberapa muridnya kelewat jahil, sampai membuat Oishi-sensei mengalami cedera yang cukup parah dan membuatnya nggak masuk ke sekolah dalam waktu yang lama.

Cara mengajar Oishi-sensei pun berbeda. Nggak hanya belajar di kelas, ia juga mengajak muridnya untuk belajar di alam. Di tepi pantai, di kawasan perkebunan dan persawahan. Bagi Oishi-sensei belajar itu bisa dilakukan dimana saja. Poin pentingnya, muridnya paham dan mengamalkan pengetahuannya di keseharian.

Segalanya perlahan mengikuti tujuan dari Oishi-sensei yang sebegitunya sayang sama ke-12 muridnya. Hingga, masa perang pun datang.

Keadaan ekonomi memburuk. Kehilangan. Bahkan Hisako Oishi juga harus berpisah dari ke-12 murid yang begitu ia sayangi. Perang mengubah segalanya. Mengacaukan keadaan yang tadinya damai tentram dan nyaman, jadi mencekam, bahkan di suatu pulau kecil bernama Pulau Shodo.

Oishi-sensei paling vokal menolak murid-muridnya memilih menjadi tentara dan terjun ke medan pertempuran. Ia lebih memilih mengajarkan agar muridnya tetap berdiam di Pulau Shodo dan merajut masa depan di sana.

Hideko Takamine Twenty Four Eyes 1954

Sayangnya, apa yang Hisako Oishi alias Oishi-sensei ini utarakan, ditentang keras oleh kepala sekolah di tempatnya mengajar. Bahkan pemikirannya yang demikian, menjadikan ia ikut dituduh sebagai pembelot kaisar yang harus diasingkan, di masa itu.

Kelam. Mecekam. Ditambah filmnya yang memang hitam putih, mengajak MinMot selaku penonton jadi mengelus dada. Nggak sanggup membayangkan bagaimana Oishi-sensei, bukan hanya harus bertahan menjalani hidup di masa perang — harus jadi perempuan tangguh karena semua kaum lelaki diperintahkan untuk pergi menjadi prajurit, memaksanya mengurusi kedua anak kandung dan ibunya yang lansia sendirian, termasuk jadi tulang punggung keluarga — yang berat luar biasa.

Apa itu mental health? Bisa jadi, para kaum perempuan di masa hidupnya Oishi-sensei ini, nggak boleh mengenal me time atau healing seperti yang kita rasakan di saat sekarang. Iya nggak sih, Gengs?

Pesan dari Film Twenty Four Eyes

Baik novel maupun filmnya dikenal luas sebagai karya yang menyuarakan anti perang. Memang, tergambar jelas bagaimana perang mengutak-atik kehidupan. Menjadikan istri terpisah dari suaminya. Membuat anak kehilangan ayahnya. Atau, kalaupun ia berhasil kembali dengan selamat, ada kecatatan akibat berperang yang harus ditanggung seseorang di sepanjang hidupnya.

Kisah Hisako Oishi atau Oishi-sensei ini berlangsung dalam hitungan tahun. Semenjak dirinya masih seorang gadis muda dan ke-12 muridnya juga masih anak-anak. Kemudian murid-muridnya mulai tumbuh menjadi remaja dengan segala rupa permasalahannya.

Hingga kesemua muridnya menjadi dewasa, dan masih mengingat keberadaan Oishi-sensei. Jalan cerita yang terhitung alurnya lambat dan panjang, namun membekas setelah filmnya tamat.

Oleh karena itu, MinMot jadi mengerti, mengapa film Twenty Four Eyes ini bukan hanya dialihwahanakan sampai tiga kali yaitu : dua kali dalam bentuk film, dan sekali dalam rupa serial, namun novelnya pun diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Mendapati film Twenty Four Eyes mendapatkan perhatian pembaca dan penonton di seluruh dunia yang bahkan sampai di tahun segini pun masih banyak yang antusias menyaksikan filmnya, kuat pesan yang disampaikan bahwa perang itu pilihan yang konsekusensinya sebegitu panjangnya. Gengs, kamu tertarik menonton juga? Tunggu festival film Jepang selanjutnya ya.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *